Dr. Warsito Taruno Sang Penemu Alat Pemidai (ECVT) yang Meggemparkan
Dunia Riset Tomografi
Robot itu bernama Sona
CT x001. Di sebuah jendela ruko di perumahan Modernland, Tangerang,
robot yang dibekali dua lengan itu sedang memindai tabung gas sepanjang 2
meter. Di bagian atas robot, layar laptop
menampilkan grafik hasil pemindaian. Selasa dua pekan lalu itu,
Sona—buatan Ctech Labs (Center for Tomography Research Laboratory) Edwar
Technology—sedang diuji coba. Alat ini sudah dipesan PT Citra Nusa
Gemilang, pemasok tabung gas bagi bus Transjakarta. “Di dalam ruko tidak
ada tempat lagi untuk menyimpan Sona dan udaranya panas,” kata Dr
Warsito P. Taruno, pendiri dan pemilik Edwar Technology.
Sona harus berada di ruangan yang
suhunya di bawah 40 derajat Celsius. Perusahaan migas Petronas, kata
Warsito, tertarik kepada alat buatannya. Kini mereka masih dalam tahap
negosiasi harga dengan perusahaan raksasa milik pemerintah Malaysia
tersebut. Selain Sona, Edwar Technology mendapat pesanan dari Departemen
Energi Amerika Serikat. Nilai pesanan lumayan besar, US$ 1 juta atau
sekitar Rp 10 miliar.
Bahkan Badan Antariksa Amerika Serikat
(NASA) pun memakai teknologi pemindai atau Electrical Capacitance Volume
Tomography (ECVT) temuan Warsito. Lembaga ini mengembangkan sistem
pemindai komponen dielektrik seperti embun yang menempel di dinding luar
pesawat ulang-alik yang terbuat dari bahan keramik. Zat seperti itu
bisa mengakibatkan kerusakan parah pada saat peluncuran karena perubahan
suhu dan tekanan tinggi.
ECVT adalah satu-satunya teknologi yang
mampu melakukan pemindaian dari dalam dinding ke luar dinding seperti
pada pesawat ulang-alik. Teknologi ECVT bermula dari tugas akhir Warsito
ketika menjadi mahasiswa S-1 di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia,
Universitas Shizuoka, Jepang, tahun 1991. Ketika itu pria kelahiran Solo
pada 1967 ini ingin membuat teknologi yang mampu “melihat” tembus
dinding reaktor yang terbuat dari baja atau obyek yang opaque (tak
tembus cahaya). Dia lantas melakukan riset di Laboratorium of Molecular
Transport di bawah bimbingan Profesor Shigeo Uchida.
Warsito mengakui
teknologi yangkemudian disebut tomografi kedengarannya seperti dongeng
fiksi ilmiah. “Tapi, karena tantangan itu riil, saya merasa terpacu
menghadapinya secara riil juga,” katanya. Warsito kemudian meneruskan
S-2 mengambil jurusan teknik kimia, berlanjut ke S-3 jurusan teknik
elektronika di Universitas Shizuoka. Tesis dan disertasinya tetap
mengenai teknologi tomografi.
Hounsfield dan Cormack memang yang
pertama kali mengembangkan teknologi ini. Namun, basisnya sinar-X. Pada
1979, kedua ilmuwan ini mendapatkan Hadiah Nobel untuk Bidang
Kedokteran. Temuan Warsito lebih canggih lagi karena basisnya dengan
gelombang suara. Alhasil, tingkah laku zat cair, gas, dan padat di dalam
reaktor tertutup yang tadinya tidak bisa dilihat dengan mata menjadi
“kelihatan”. Teknologi ini, kata Warsito, boleh disebut tahap lanjut
dari teknologi kelelawar, yang mampu “melihat dalam gelap” secara satu
dimensi.
Profesor Liang Shih Fan dari Ohio State
University, Amerika Serikat, mengajak Warsito mengikuti program pasca
doktoral pada 1999. Dia menerima tawaran itu. Maklum, tidak ada lembaga
di Jepang yang bersedia menampungnya. Situasi Indonesia yang ketika itu
kacau-balau mempengaruhinya untuk tidak kembali ke Tanah Air.
Dia berhasil mengembangkan tomografi
kapasitansi listrik berbasis medan listrik statis. Metode yang
mengkombinasikan cara kerja otak manusia dan teori probabilitas ini
dipatenkan di Amerika pada 2003. Paper yang menjelaskannya dimuat di
jurnal Measurement Science and Technology.
Pada 2001, artikel ini menjadi paper
yang paling banyak diakses di penerbitan online oleh Institute of
Physics (London). Liang Shih Fan, ahli di bidang teknologi partikel,
perminyakan, dan energi, kemudian menantangnya membuat teknologi
“melihat tembus” ruang 4 dimensi. Hingga pertengahan 2003, Warsito tidak
menemukan jawabannya.
Dia sempat frustrasi dan kembali ke
Indonesia untuk memperpanjang visa. Keinginan mendidik anaknya di Tanah
Air menjadi salah satu alasan dia tidak memperpanjang kontrak dengan
Ohio State University. Namun, Warsito tetap melanjutkan risetnya dari
sebuah ruko sewaan di Tangerang. Dia menjual mobil satu-satunya untuk
membeli perlengkapan komputer dan Internet serta membuat warnet di
lantai bawah ruko. Usaha yang dikelola istri dan adiknya ini untuk
menutupi biaya operasional. Upayanya berhasil untuk “melihat tembus
secara 4 dimensi”. Pada 2005, IEEE Sensors Journal memuat artikelnya
berjudul “Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT)”. Sejak itu,
teknologi ini menghiasi sesi plenary lecture di hampir seluruh
konferensi ternama di dunia di bidang proses kimia, fluidisasi, mekanika
fluida multifasa, energi, teknologi partikel, dan tomografi industri.
Di antaranya Kongres Dunia Tomografi
Proses Industri, Aizu, Jepang (2005); Kongres Dunia Teknik Kimia dan
Kongres Dunia Teknologi Partikel di Florida (2006); serta Pertemuan
Tokoh 100 Tahun Ilmuwan Teknik Kimia yang Paling Berpengaruh di Abad
ke-20 di Philadelphia (2008).
Aplikasi dari temuan Warsito sejatinya
dapat diterapkan untuk sektor kesehatan (alat-alat kesehatan), geofisik,
NDT (uji tanpa rusak), dan proses industri. Sayangnya, tak ada investor
dalam negeri yang bersedia membiayai risetnya. Lembaga pemerintah juga
tak meliriknya. Liang Shih Fan dan Ohio State University kemudian
menawarkan bantuan. Di Amerika Serikat terbentuk perusahaan yang menang
tender dari departemen energi setempat.
Di Indonesia, Warsito mengibarkan
bendera dengan nama Ctech Labs (Center for Tomography Research
Laboratory) Edwar Technology. Nama terakhir merupakan singkatan dari Edi
dan Warsito. “Biar kelihatan keren,” kata Warsito, yang menjabat Ketua
Umum Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia. Edi merupakan
sahabatnya ketika sama-sama kuliah program doktor di Jepang. Di
perusahaan ini, Edi mengurusi divisi pengembangan bisnis.
Huruf C pada Ctech Labs,
kata Warsito, bermakna melihat. Namun, bisa juga dibaca dalam bahasa
Indonesia sebagai “sitek atau sito”. Ini merupakan nama panggilan
Warsito ketika masih kecil. Sampai saat ini, ibunya memanggilnya Sito.
Usahanya mulai berkibar. Jumat pekan lalu, Warsito mendapatkan anugerah
Ahmad Bakrie Award untuk kategori teknologi. Sejak tahun lalu, Warsito
merekrut 20 mahasiswa strata satu untuk menyelesaikan skripsi atau tugas
akhir. Ada yang mengembangkan tomografi untuk USG dan sensor untuk
mengetahui kandungan migas. Salah seorang mahasiswa tersebut membantunya
membuat Sona CT x001. “Saya beri target skripsinya masuk di jurnal
internasional atau dapat paten,” ujarnya.
sumber : http://www.tempointeraktif.com
0 Responses to Penemu Alat Pemindai (ECVT) 4 Dimensi Berasal Dari Indonesia