Wahyudin 'Mas Ganteng', Pemulung Muda yang Menggapai Sajana Ekonomi




Sepuluh tahun lalu, Wahyudin kecil memulai harinya dengan berjalan kaki menyusuri Jalan Alternatif Cibubur. Ditemani tetangganya, yang dipanggilnya Bibi Ani, sulung dari tiga bersaudara itu berangkat sekitar pukul 01.00 untuk memunguti sampah.
Bocah yang masih duduk di kelas IV Sekolah Dasar itu pun 'resmi' menjadi pemulung. Sejak itu, Wahyudin menjadi perbincangan para tetangga di sekitar tempat tinggalnya, Kampung Kalimanggis Gang Lame RT1/4, Jatikarya, Jatisampurna, Kota Bekasi.
Namun, sepuluh tahun kemudian, pekerjaannya menjadi pemulung telah membawanya hampir menyelesaikan pendidikan hingga tingkat sarjana. "Saya sekarang sedang skripsi, tapi pekerjaan memulung belum saya tinggalkan. Itu salah satu cara saya membiayai kuliah," kata Wahyudin (21) yang kini masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan Akutansi, Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Ditemui Warta Kota , Jumat (1/3/2013), Wahyudin menuturkan bahwa awalnya dia heran melihat Bibi Ani, tetangganya itu, menumpuk kardus dan plastik sampah di rumahnya. Padahal menurutnya barang-barang itu sudah tak berguna karena dibuang orang. "Bi Ani bilang, jangan salah menilai. Sampah itu bagi orang lain memang sudah tidak berguna, tapi masih bisa jadi uang. Kalau mau terus sekolah, ayo ikut saja memulung," kata Wahyudin mengulang ajakan Bibi Ani.
Tanpa pikir panjang, dia minta ikut menjadi pemulung bersama Jeri, anak lelaki Bibi Ani. Tekad Wahyudin didorong kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Saat itu dia sudah merasa tak akan sanggup melanjutkan sekolah hingga jenjang yang lebih tinggi. Bapaknya, Mija (55), punya dua istri.
Dari istri pertama, Mija memiliki 5 anak. Wahyudin adalah anak sulung dari tiga bersaudara yang lahir dari Fatmawati (38), istri kedua Mija. Mija bekerja serabutan, dari menggarap lahan milik orang, sampai kini menjadi tukang ojek. Jangankan memikirkan biaya sekolah, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja kelimpungan.
"Saya nggak kepengin seperti kakak-kakak saya yang putus sekolah. Awalnya banyak yang mencibir, mungkin mereka menganggap pemulung sama halnya dengan orang yang panjang tangan. Kesininya, saya cuek, karena yakin ini pekerjaan halal dan tidak merugikan orang lain," kata Wahyudin.
Rupanya menjadi pemulung menguras waktu Wahyudin. Sejak sekitar pukul 01.00, dia sudah menyusuri Jalan Alternatif Cibubur. Pukul 02.30, dia mulai masuk Perumahan Taman Laguna sampai menjelang subuh. Siang hari, usai sekolah, dia mengulangi rutenya itu. Karena sering kecapekan, dia jadi tak sempat belajar. Wahyudin cari akal, dia buat tas sendiri dari kantung plastik agar bisa membawa buku pelajaran kemana pun dia memulung.
Di sela istirahat, dia mempelajari buku-buku itu. Dia juga membeli beberapa anak ayam untuk dipelihara. Hasil penjualan ayam itu kemudian ditabung untuk biaya masuk SMPN 28 Bekasi. Selama SMP dia terus memulung agar bisa mengantongi uang jajan dan membayar SPP.
Dia terbantu saat neneknya memberinya sepasang anak kambing untuk diternakkan. Dijualnya kambing itu untuk biaya masuk SMAN 7 Kota Bekasi. Selama SMA, kegiatan memulung sedikit berkurang. Itu karena dia berjualan gorengan keliling kampung dan perumahan. Khawatir tak bisa mewujudkan mimpinya untuk kuliah, dia kembali giat memulung saat libur sekolah. Sehari bisa Rp30 ribu-Rp50 ribu diperolehnya. Dia menyisihkan Rp300 ribu-Rp500 ribu per bulan untuk ditabung.
Menjelang kelulusan, Wahyudin kian gusar. Tabungannya ternyata tak cukup buat ongkos kuliah. Mimpi melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi digambarkan dan dituliskannya di atas kertas. Kemudian ditempelkannya 'kertas mimpi' itu di tembok kamar. "Saya terus berdo'a, saya yakin Allah mengabulkan keinginan saya untuk kuliah," kata Wahyudin.
Laksana jawaban atas doa yang diucapkannya, pertolongan itu datang juga. Beberapa tetangga yang mengenalnya mengulurkan bantuan untuk mencukupi biaya kuliahnya. Meski sudah kuliah, masih tetap memulung. Dia juga terbantu karena mendapatkan beasiswa. Beberapa teman kuliahnya awalnya tak menyangka dia selama ini menjadi pemulung. "Mereka tahu setelah main ke rumah. Ternyata di rumah masih banyak tumpukan sampah kardus dan plastik. Tapi mereka bisa menerima," ujar Wahyudin.
Di sela kegiatan kuliah serta mencari penghasilan sebagai pemulung dan penjaja gorengan, Wahyudin masih aktif di lingkungan sekitarnya dengan memberikan bimbingan belajar gratis. Dia juga menjadi penyiar di Radio Silaturahim (Rasil), salah satu radio dakwah di kampung itu, setiap Sabtu.
Kini Wahyudin sudah menjalani sidang skripsi. Rencananya dia akan diwisuda Desember 2013. Meski begitu, masih ada cita-cita lainnya yang ingin diwujudkan. Dia berencana melanjutkan kuliahnya ke jenjang S2. "Saya ingin konsentrasi soal perpajakan, sesuai skripsi yang saya buat. Ke depannya, saya juga pengen jadi pengusaha. Saya ingin memberi motivasi bagi orang lain, bahwa pemulung juga bisa berkarya," tutur mahasiswa yang memilih judul Pengaruh Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Bekasi untuk skripsinya itu.


Tukang Tambal Ban Lulus Kuliah S2


Meski berpendidikan tinggi dan meraih gelar Magister Pendidikan, Kadiyono, warga Dusun Jagalan, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah ini tidak malu menjadi tukang tambal ban di pinggir jalan. Bahkan, Kadiyono bangga dengan pekerjaan sekarang, karena bisa membiayai kuliahnya hingga menyandang lulus S2.

Setiap hari bapak tiga orang anak ini hanya mengenakan kaos dan celana pendek, serta bergumul dengan peluh membuka dan menambal ban. Lulusan Magister Pendidikan (MPd) dari Universitas Muhammadiyah Surakarta ini mengaku, dari menambal ban ini bisa membiayai kuliah hingga S2.

"Syukur, berkat tambal ban ini, saya lulus S1 dan mendapatkan gelar Sarjana Sosial dari Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom). Dan baru gelar S2-nya di Universitas Muhammadiyah Surakarta," kata Kadiyono, Selasa (26/5).

Dikatakannya, usaha menjadi seorang tukang tambal ban ini sudah ditekuninya sejak usia delapan tahun. Sejak lulus dari SMA Muhammadiyah 2 Boja pada 1989 silam, Kadiyono langsung mengikuti kursus montir, hingga satu tahun kemudian dia bisa melanjutkan belajar ke perguruan tinggi di STIK Semarang.

Namun, perjuangannya sempat terhenti setelah menikahi Mutmainah pada 1997, karena kondisi keuangan yang tidak memungkinkan membuat Kadiyono memilih untuk cuti kuliah. Terlebih lagi, anak pertamanya lahir dua tahun kemudian.

"Saat cuti, semua materi mata kuliah sudah hampir kelar semuanya. Dan tahun itu kondisi keuangan mulai membaik, saya kemudian melanjutkan kuliah kembali. Dan akhirnya, baru dapat diwisuda 2001. Sebelumnya, setiap pulang kuliah saya buka tambal ban," ujarnya.

Diungkapkannya, sewaktu menempuh pendidikan jenjang S1, dia terpaksa harus bolak-balik Semarang-Boja dengan mengendarai motor bentley tua-nya. Meski begitu, tak ada rasa putus asa yang menyelimuti dirinya.

Sampai suatu ketika, dia mendapat kesempatan menjadi guru di SD Muhammadiyah Boja dan berhasil mendapat tunjangan sertifikasi selama dua tahun. Dari tunjangan itulah Kadiyono bisa melanjutkan studi S2.

Akhirnya, keinginannya untuk menempuh pendidikan ke Magistra terpenuhi tahun 2010, yakni, dengan memilih kelas karyawan yang masuk setiap Jumat-Minggu. Selama menjalani kuliah, dia selalu menginap di asrama kampus.

"Awalnya, saya musyawarah sama istri, dari tunjangan ini bagaimana kalau untuk mengambil S2 dan istri sangat mendukung. Meski kini sudah S2, tapi masih ingin belajar lagi agar bisa meraih gelar doktor. Saya tahu, biayanya mahal, tapi hingga kini saya sudah mencari beasiswa, tapi belum berhasil," imbuhnya.

Kini, selain menjadi tutor di Universitas Terbuka Semarang dirinya juga mendapat amanah memegang jabatan Kepala SLB Surya Gemilang di Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.

Diberdayakan oleh Blogger.